Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Test link

Kedudukan Manusia di Alam Semesta Menurut Alquran

Manusia yang lahir dari rahim seorang ibu ke dunia, memiliki kedudukan yang sangat tinggi di hadapan Allah.

Blog nhw - Manusia diciptakan oleh Allah swt. dengan sebaik-baiknya penciptaan dan dengan kedudukan yang mulia di antara ciptaan Allah lainnya.

Allah menciptakan manusia dari sari pati tanah. Selanjutnya dari tanah tersebut terbentuklah air mani (nutfah) yang hina, kemudian dari air mani membentuk segumpal darah, kemudian segumpal daging. Selanjutnya Allah meniupkan roh ke dalamnya dan mengambil kesaksian ketuhanan atas diri manusia tersebut.

Manusia yang lahir dari rahim seorang ibu ke dunia, memiliki kedudukan yang sangat tinggi di hadapan Allah.

Bahkan Allah telah memerintahkan kepada malaikat dan iblis untuk bersujud kepada manusia (Adam), padahal manusia hanya makhluk yang diciptakan dari tanah yang lemah, tidak seperti malaikat yang diciptakan dari cahaya dan iblis yang diciptakan dari api.

Namun, manusia memiliki keistimewaan dibandingkan dengan makhluk yang lain. Oleh karena itu, manusia diberikan beragam potensi dalam dirinya sebagai bekal untuk menjalankan kehidupannya di dunia.

Manusia diciptakan Allah dengan sebaik-baik bentuk. Allah membentuk manusia meliputi unsur jasmani dan rohani.

Perpaduan kedua unsur tersebut menjadikan manusia disebut sebagai makhluk yang sempurna di alam semesta.

Kedudukan Manusia di Alam Semesta

Sebagai makhluk yang sempurna, apa kedudukan manusia di muka bumi?

Berikut kedudukan manusia di alam semesta yang telah dijelaskan dalam Alquran.

Manusia sebagai hamba Allah

Hamba Allah berarti orang yang senantiasa tunduk, patuh, taat terhadap semua yang diberikan Allah atas dirinya.

Seseorang yang menjalankan semua hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah dan menjalankan apa-apa yang diperintahkanNya.

Dapat dimaknai pula seseorang yang bergantung dalam hidup dan matinya hanya kepada Allah semata, sehingga tidak ada pengingkaran, penghianatan, dan pengufuran terhadap kekuasaan Allah.

Setiap manusia mengetahui bahwa dirinya adalah makhluk yang lemah dan terdapat kekuatan besar di atas segala-galanya.

Kekuatan supranatural yang dirasakan setiap manusia adalah kekuatan Allah sang pemilik kerajaan langit dan bumi.

Manusia yang tidak memiliki pemahaman tentang kekuatan tersebut, akan mengasumsikan Tuhan sebagai benda-benda yang memiliki kekuatan gaib, sehingga muncullah keyakinan-keyakinan di luar ajaran yang telah diajarkan Allah melalui para nabi.

Namun, pada hakikatnya semua manusia percaya bahwa pemilik kekuasaan yang Mahatinggi adalah wujud (ada).

Hal tersebut disebabkan karena manusia merupakan makhluk beragama. Allah telah memberikan potensi beragama kepada setiap manusia yang lahir ke dunia dalam wujud kesaksiannya kepada Allah ketika berada di alam roh.

Kesaksian tersebut dijelaskan dalam Surah Al-A'raf ayat 172 berikut.

وَ اِذۡ اَخَذَ رَبُّكَ مِنۡۢ بَنِىۡۤ اٰدَمَ مِنۡ ظُهُوۡرِهِمۡ ذُرِّيَّتَهُمۡ وَ اَشۡهَدَهُمۡ عَلٰٓى اَنۡفُسِهِمۡ‌ ۚ اَلَسۡتُ بِرَبِّكُمۡ‌ ؕ قَالُوۡا بَلٰى‌ ۛۚ شَهِدۡنَا ‌ۛۚ اَنۡ تَقُوۡلُوۡا يَوۡمَ الۡقِيٰمَةِ اِنَّا كُنَّا عَنۡ هٰذَا غٰفِلِيۡنَ

Artinya: "Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): 'Bukanlah aku ini Tuhanmu?' Mereka (anak-anak Adam menjawab: 'Betul, Engkau Tuhan kami') kami menjadi saksi"

Konsekuensi logis dari kesaksian terhadap ketuhanan adalah wujud penghambaan diri kepada Tuhannya, yaitu menyembah dan beribadah kepada-Nya.

Allah swt. berfirman dalam Surah Adz-Dzariyat ayat 56 berikut.

وَمَا خَلَقۡتُ الۡجِنَّ وَالۡاِنۡسَ اِلَّا لِيَعۡبُدُوۡنِ

Artinya: "Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku"

Berdasarkan ayat di atas, dapat dimaknai bahwa seluruh aktivitas manusia di dalam kehidupan dunia dalam rangka beribadah kepada Allah.

Oleh karena itu, setiap perbuatan harus diniatkan ibadah dan hanya mengharapkan rida Allah semata.

Dalam literature Islam, dikenal ibadah mahdah (khas) dan ibadah ghairu mahdah (ammah).

Ibadah mahdah berarti ibadah yang telah ditentukan tata cara dan waktu pelaksanaannya, seperti: shalat, zakat, puasa, haji, sedekah, dan sebagainya tanpa adanya penambahan sedikut pun. Jika ada penambahan, maka hal tersebut disebut bid'ah.
 
Adapun ibadah ghairu mahdah adalah adalah ibadah yang tidak ditentukan tata cara dan waktu pelaksanaannya karena menyangkut banyak aspek kehidupan manusia, sehingga manusia dituntut kreatif dan inovatif mengembangkan ibadah tersebut asal tidak bertentangan dengan hukum Islam, yaitu Alquran dan hadis.

Pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut harus mengembangkam potensi Rabbaniyah, yaitu sifat-sifat ketuhanan dalam diri manusia, sehingga sifat-sifat tersebut teraktualisasikan dalam berbagai tindakan sehari-hari, baik kepada Allah, diri sendiri, sesama manusia, dan alam sekitarnya.

Manusia sebagai Khalifah

Manusia memiliki kedudukan di bumi sebagai khalifah dijelaskan dalam Surah Al-Baqarah ayat 30 berikut.

Artinya: "Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi"

Istilah khalifah, dalam bentuk mufrad (tunggal) dapat diartikan sebagai penguasa politik, yaitu hanya ditujukan kepada nabi-nabi.

Adapun untuk manusia menggunakan istilah khalaif yang berarti penguasa yang lebih luas daripada penguasa politik.

Manusia sebagai penguasa di muka bumi atau dalam kata lain manusia bertugas memakmurkan bumi dan segala yang ada di dalamnya, baik tumbuhan, hewan, dan benda-benda.

Selain itu, manusia juga memiliki peran dalam memimpin sesamanya menuju jalan Ilahi, saling bergantian dan pewarisan kepemimpinan agar tercipta kemakmuran di muka bumi sebagaimana dipaparkan dalam Surah Hud ayat 61 berikut.

هُوَ اَنۡشَاَكُمۡ مِّنَ الۡاَرۡضِ وَاسۡتَعۡمَرَكُمۡ فِيۡهَا

Artinya: ".... Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya"

Hubungan manusia dengan alam semesta, bukan merupakan hubungan antara penakhluk dan yang ditakhluk atau hubungan hamba dan tuan, melainkan hubungan partner dalam ketundukan kepada Allah.

Kemampuan manusia mengelola dan memakmurkan bumi, bukan semata kekuatan manusia, melainkan Allah telah menundukkan alam semesta untuk manusia, sehingga manusia dapat memanfaatkan apa yang ada dengan sebaik-baiknya.

Oleh karena itu, perlunya sikap moral dan etika dalam melaksanakan fungsi kekhalifahannya di muka bumi.

Pada dasarnya, kekuasaan manusia tidaklah bersifat mutlak, sebab kekuasannya dibatasi oleh kekuasaan Allah, sehingga seorang khalifah tidak boleh melawan hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah.

Kekhalifahan tidak dapat dijalankan dengan begitu saja, sebab kekhalifahan membutuhkan ilmu pengetahuan, pengajaran, keterampilan dalam mengelola dan memimpin.

Oleh karena itu, pentingnya pendidikan untuk membentuk khalifah yang unggul dan senantiasa mengajak kepada ketaatan kepada Allah swt..

Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan yang telah dijelaskan di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.
  1. Manusia memiliki kedudukan sebagai hamba Allah yang bertugas untuk senantiasa beribadah kepada Allah semata. Apa pun aktivitas yang dijalankan oleh manusia di muka bumi, hendaknya ditujukan untuk beribadah dan mencari rida Allah swt..
  2. Manusia memiliki kedudukan sebagai khalifah yang berarti pemimpin, pengganti Allah, dan penguasa bumi. Manusia harus menjalankan kepemimpinannya sejalan dengan ketetapan dan hukum-hukum Allah swt., karena pada hakikatnya kepemimpinan manusia bukanlah kepemimpinan mutlak dan segala-galanya, karena pemimpin yang sebenarnya hanyalah Allah semata.

Referensi

Nuryamin. 2017. Kedudukan Manusia di Dunia Perspektif Filsafat Pendidikan Islam. Makassar: Jurnal Al-Ta'dib UIN Alauddin. Vol. 10. No.1.

Ramayulis. 2015. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.



© blognhw.com. All rights reserved. Developed by Jago Desain